Kamis, 09 Juni 2016

Pengarus utamaan gender sejak usia dini menjadi dorongan kemajuan akses PAUD di Papua

Oleh : Faisal Riza Hasbullah
UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education diterima di tahun 2016 oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia merupakan momentum untuk kebangkitan kesejahteraan dan perlindungan anak perempuan untuk mendapatkan hak yang layak. Penghargaan yang bergengsi tersebut perlu menjadi kesadaran bersama semakin pentingnya anak-anak yang mendapatkan pembelajaran yang tepat sesuai usianya. Jangan sampai perkembangan anak tidak sesuai dengan pendidikan yang didapatkan dilembaga pendidikan anak usia dini.
Indonesia di tahun yang sama memiliki banyak sekali kasus mengerikan tentang pengarus utamaan gender. Penindasan terhadap perempuan dalam berpendidikan dan berinteraksi dipublik masih terancam. Berbagai bentuk kekerasan fisik psikologis, hingga kearah tindak asusila mewarnai kebengisan diberbagai wilayah. Masih teringat jelas bagaimana anak perempuan selesai belajar disekolah diperjalanan pulang diperkosa dan dibunuh secara sadis oleh 15 orang pemabuk. Hingga dipelosok negeri balita usia 2 tahun dilecehkan sampai mati. Ini bentuk bagaimana demoralisasi penurunan sikap santun berganti menjadi sifat hewan perlu penanganan khusus untuk menghentikan berbagai kasus yang telah ada, sehingga tidak adalagi kasus berulang atau malah muncul kasus baru lebih kejam. Sasaran tertinggi yaitu perempuan yang masih dianggap menjadi makhluk lemah.
Penghargaan yang didapatkan diarahkan untuk lebih baik lagi pelayanan pendidikan bagi anak perempuan sejak usia dini perlu dijaga keberadaan dan pendidikannya. Di Papua di wilayah timur Indonesia sudah pasti akan banyaknya kesenjangan pendidikan yang masih terjadi karena keterjangkauan dari akses pendidikan yang susah, maupun karena kesadaran dari orangtua dalam memberikan pendidikan dirumah atau bahkan anak-anaknya didaftarkan PAUD masuk kelembaga PAUD. Jika klita melihat secara langsung bagaimana anak perempuan sebagian besar masih diajak oleh ibunya untuk sekedar membantu bercocok tanam maupun berjualan sehingga pendidikan terbengkalai.
Bahkan untuk anak laki-laki mereka para orangtua jarang untuk mendaftarkan anaknya untuk mendapat pendidikan, sehingga ditemui anak laki-laki yang banyak hanya ikut-ikutan anak lain sekedar bermain di lembaga PAUD. Maka ketika diabsen barulah ketahuan anak yang baru semakin banyak tanpa adanya komunikasi dari orangtua untuk mendahului mendaftarkan anak-anaknya. Maka pelrunya pengarus utamaan gender di Papua perlu digiatkan mulai dengan sosialisasi, maupun dalam bentuk lembaga pendidikan menjemput bola mendatangi pada rumah-rumah warga yang memiliki anak usia dini.

Dengan adanya kesadaran pendidikan untuk kesetaraan gender sejak usia dini maka meningkatkan peran bermitra baik dengan BKKBN, Himpaudi, IGTK, BP PAUD DAN DIKMAS dan instansi lain dalam melayani pendidikan anak udia dini. Memang akan menjadi susah jika masing-masing lembaga instansi yang ada berjalan sendiri tanpa ada kerjasama. Tetapi jika telah kuat maka nantinya untuk mendata dan melayani pendidikan untuk anak usia dini bisa merata dan berkualitas sesuai dengan tantangan jaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar