Oleh : Faisal Riza Hasbullah
UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education diterima di tahun 2016 oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia merupakan momentum untuk kebangkitan kesejahteraan dan perlindungan anak perempuan untuk mendapatkan hak yang layak. Penghargaan yang bergengsi tersebut perlu menjadi kesadaran bersama semakin pentingnya anak-anak yang mendapatkan pembelajaran yang tepat sesuai usianya. Jangan sampai perkembangan anak tidak sesuai dengan pendidikan yang didapatkan dilembaga pendidikan anak usia dini.
UNESCO Prize for Girl’s and Women’s Education diterima di tahun 2016 oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia merupakan momentum untuk kebangkitan kesejahteraan dan perlindungan anak perempuan untuk mendapatkan hak yang layak. Penghargaan yang bergengsi tersebut perlu menjadi kesadaran bersama semakin pentingnya anak-anak yang mendapatkan pembelajaran yang tepat sesuai usianya. Jangan sampai perkembangan anak tidak sesuai dengan pendidikan yang didapatkan dilembaga pendidikan anak usia dini.
Indonesia di tahun
yang sama memiliki banyak sekali kasus mengerikan tentang pengarus utamaan
gender. Penindasan terhadap perempuan dalam berpendidikan dan berinteraksi
dipublik masih terancam. Berbagai bentuk kekerasan fisik psikologis, hingga
kearah tindak asusila mewarnai kebengisan diberbagai wilayah. Masih teringat
jelas bagaimana anak perempuan selesai belajar disekolah diperjalanan pulang
diperkosa dan dibunuh secara sadis oleh 15 orang pemabuk. Hingga dipelosok
negeri balita usia 2 tahun dilecehkan sampai mati. Ini bentuk bagaimana
demoralisasi penurunan sikap santun berganti menjadi sifat hewan perlu
penanganan khusus untuk menghentikan berbagai kasus yang telah ada, sehingga
tidak adalagi kasus berulang atau malah muncul kasus baru lebih kejam. Sasaran tertinggi
yaitu perempuan yang masih dianggap menjadi makhluk lemah.
Penghargaan yang
didapatkan diarahkan untuk lebih baik lagi pelayanan pendidikan bagi anak
perempuan sejak usia dini perlu dijaga keberadaan dan pendidikannya. Di Papua
di wilayah timur Indonesia sudah pasti akan banyaknya kesenjangan pendidikan
yang masih terjadi karena keterjangkauan dari akses pendidikan yang susah,
maupun karena kesadaran dari orangtua dalam memberikan pendidikan dirumah atau
bahkan anak-anaknya didaftarkan PAUD masuk kelembaga PAUD. Jika klita melihat
secara langsung bagaimana anak perempuan sebagian besar masih diajak oleh
ibunya untuk sekedar membantu bercocok tanam maupun berjualan sehingga
pendidikan terbengkalai.
Bahkan untuk anak
laki-laki mereka para orangtua jarang untuk mendaftarkan anaknya untuk mendapat
pendidikan, sehingga ditemui anak laki-laki yang banyak hanya ikut-ikutan anak
lain sekedar bermain di lembaga PAUD. Maka ketika diabsen barulah ketahuan anak
yang baru semakin banyak tanpa adanya komunikasi dari orangtua untuk mendahului
mendaftarkan anak-anaknya. Maka pelrunya pengarus utamaan gender di Papua perlu
digiatkan mulai dengan sosialisasi, maupun dalam bentuk lembaga pendidikan
menjemput bola mendatangi pada rumah-rumah warga yang memiliki anak usia dini.
Dengan adanya
kesadaran pendidikan untuk kesetaraan gender sejak usia dini maka meningkatkan
peran bermitra baik dengan BKKBN, Himpaudi, IGTK, BP PAUD DAN DIKMAS dan
instansi lain dalam melayani pendidikan anak udia dini. Memang akan menjadi
susah jika masing-masing lembaga instansi yang ada berjalan sendiri tanpa ada
kerjasama. Tetapi jika telah kuat maka nantinya untuk mendata dan melayani
pendidikan untuk anak usia dini bisa merata dan berkualitas sesuai dengan
tantangan jaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar