Oh, Pendidikan
Nonformal!
“Alhamdulillah”,ungkapan inilah yang diucapkan oleh Fahri
dan Catur ketika sudah sampai di Kabupaten terdekat dengan perbatasan Papua New
Guini, seru Fahri “ini namanya Kabupaten Keerom.” Pagi yang diiringi gerimis
hujan tidak menyurutkan niat dalam melaksanakan tugas untuk melakukan studi
pendahuluan. Salah satu tahapan untuk mengembangkan model dibidang pendidikan
keaksaraan dalam melayani masyarakat buta aksara. Terkadang dalam benak Fahri
berfikir, masih ada juga masyarakat yang pada jaman melinial berlalu masih
belum mengenal membaca menulis dan berhitung. Menarik hati, disatu sisi kasihan
untuk melihat perkembangan jaman , bagaikan orang yang ingin mempelajari bahasa
asing, sangat jarang sekali kalau ditemui orang yang buta aksara menginginkan
keadaan tersebut berlanjut. Cerita fahri “Saat mengenal bahasa asing untuk
menghafalkan kata perkata susah, untuk mengucapkan apalagi malu sudah datang
maka sulit kita mampu menguasai dengan kilat bahasa asing.” Sahut Catur “Begitulah
yang dirasakan oleh mereka warga masyarakat yang buta aksara dijaman now.”
Sesampainya di sanggar kegiatan belajar disingkat SKB ini
merupakan satuan pendidikan nonformal yang masih dinaungan pemerintah daerah
setingkat kabupaten maupun kota. “Miris, melihat kantor yang melayani
pendidikan nonformal berbeda sangat dengan kantor pendidikan formal diseberang
jalan.” kata Fahri ketus. “Memang kalau diakui adanya SKB yang tadinya
merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah sekarang telah menjadi satuan pendidikan
yang mana telah fakum selama satu tahun terlihat sangat memprihatinkan. Ruangan
yang berbentuk rumah merupakan rumah sewa yang disulap untuk kantor sementara
SKB, padahal jika ditilik masa sebelum menjadi satuan pendidikan memiliki
kantor yang jauh lebih pantas berada disisi tempat lain berjarak berapa blok
dari kantor yang sekarang. Selama fakum untuk merubah dari UPTD menjadi Satdik
ini telah ditempati kantor berikut sarana prasarana yang didapatkan dari
bantuan pemerintah pusat dan tentunya pemerintah daerah oleh bidang kerja lain.”
Begitulah penjelasan detail Catur.
Diskusi untuk menerima masukan dari berbagai pihak dimulai
pukul sebelas waktu Indonesia timur, pihak yang telibat terdiri pegawai dinas
pendidikan kabupaten, pegawai SKB dan ketua lembaga satuan pendidikan non
formal terdekat. Setelah dibuka oleh kepala SKB untuk melaksanakan diskusi
mulai dengan hal ringan berbagai potensi yang ada untuk mengembangakan
pendidikan nonformal di wilayah Kab Keerom terkhusus untuk pendidikan
keaksaraan. Heryawan mengungkapkan “diwilayah SKB Kab Keerom telah melayani
dulunya berbagai tempat yang rata-rata eks trans (Transmigran yang telah lama
mendiami Kabupaten Keerom) masih terdapat warga masyarakat yang dalam satu
keluarga terdiri dari orangtua yang buta aksara, sedangkan untuk mengajarkan
mereka malu datang ke satuan pendidikan, ada dari mereka belajar dengan
keluarga sendiri. Bahkan ada juga warga masyarakat yang belajar kepada anaknya
yang telah belajar di pendidikan formal.” Ditimpali oleh Siti Fatonah “Memang menjadi
kekurangan adalah adanya test atau penilaian yang masih kurang untuk warga
masyarakat yang belajar sendiri, tentu hal ini belum bisa dilakukan penilaian
terkendalan adanya tutor kurang dan tidak mampu menjangkau ke rumah-rumah. Padahal
kalau didata maka akan terlihat masih banyak warga masyarakat yang buta aksara
ketika datang melakukan transmigrasi dijaman dahulu dan usianya pastinya empat
puluh tahun keatas. Jika memang belum terlayani kasihan akan merugi dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya untuk berjual beli mereka belum tentu bisa
membaca pesan yang disampaikan melalui tulisan maupun berita yang menjadi
pengumuman.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar