Selasa, 18 April 2017

Tantangan Pendidikan Kesetaraan Daerah Trans Timur Indonesia

Oleh : Faisal Riza Hasbullah, S.Pd.I

Kebijakan pemerintah mengenai penanganan anak usia sekolah yang putus sekolah agar mendapatkan layanan Program Indonesia Pintar (PIP) berdampingan dengan manfaat Biaya Operasional Pendidikan (BOP) diharapkan membantu mengurangi  beban orangtua dalam membiayai anaknya agar bisa melanjutkan pendidikannya. Asalkan anak tersebut terdaftar di lembaga pendidikan formal maupun nonformal maka akan berhak dilayani dan mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Peran serta pemerintah ini perlu didukung sepenuhnya oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang menjadi lembaga pendidikan nonformal yang menangani pendidikan kesetaraan.
Papua masih memiliki 3.911 (ATS) Orang anak usia sekolah dasar yang putus sekolah, sedangkan sekolah menengah pertama berjumlah 1.174 orang putus sekolah(ATS), dan untuk sekolah menengah atas berjumlah 570 orang(ATS),  untuk usia sekolah menengah kejuruan 253 anak usia sekolah putus sekolah (ATS) sesuai data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan melalui Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK), dari data tersebut perlu dilayani ATS melalui jalur pendidikan kesetaraan. Bahkan jika dilihat dari sebaran jenis kelamin didominasi oleh laki-laki daripada perempuan yang mengalami putus sekolah sesuai dengan input data pokok pendidikan (DAPODIK).
Masih banyak anak usia sekolah yang putus sekolah diantaranya terjadi drop out. Di Papua anak usia sekolah tidak sekolah disebabkan ketidak disiplinan anak untuk hadir di sekolah, hal ini dikarenakan jarak antara sekolah dengan tempat tinggal berjauhan. Selain itu anak usia sekolah telah memutuskan untuk menikah, menjadi penyebab tidak diterimanya lagi disekolah negeri.kejadian lain dikarenakan terjadinya tindak kriminal atau korban tindakan asusila sering ditemui menjadi terbanyak resiko anak dikeluarkan dari sekolah.
Pendidikan kesetaraan yang menjadi solusi adanya anak usia sekolah untuk bisa melanjutkan sekolah sesuai dengan jenjang pendidikannya masih belum maksimal dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat kurang meminati keberadaan pendidikan kesetaraan di PKBM, dikarenakan rendahnya sosialisasi pada masyarakat. Belum adanya langkah yang tepat untuk mendata anak usia sekolah putus sekolah. Rendahnya masyarakat dalam berpendidikan disebabkan merasa cukupnya berkemampuan membaca dan menulis sedangkan kehidupannya bisa berjalan baik dengan berpenghasilan seadanya.
Warga belajar PKBM Mentari Awiyo melaksanakan ujian kesetaraan

Pendidikan Kesetaraan di Kab Keerom tepatnya di Arso 13 pada PKBM Kasih dikelola oleh Herianto. Masyarakat di sekitaran PKBM rata-rata berpenghasilan dari bertani yang memiliki tanah sendiri dengan komoditas pertanian panen 3 bulanan, dan sayur mayur yang dipanen setiap musimnya. Di keerom terdapat perkebunan coklat dan sawit menjadi tempat para putus sekolah diusia sekolah. Kurangnya peran pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di masyarakat, ketika ada yang putus sekolah lebih banyak ke arah buruh tukang atau petani sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan dan mengabaikan pendidikan. Kelompok pengajian dimasyarakat, acara nikahan masih kental dengan tradisi. Sekolah menengah atas yang jauh dari jangkauan, dari Arso 13 harus ke Arso 3 menyebabkan masyarakat masih terkendala untuk mengakses pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar